Cerpen Ketika Sahabat Menjadi Pengkhianat

| Minggu, 17 Februari 2013


SIANG itu saya sedang makan siang di Food Court, Plasa Senayan , Jakarta Selatan bersama teman bisnis saya, Prabowo, namanya.
“Harry, saya terkejut membaca statusmu di FB,” ujarnya.
“Soal,apa?” saya ingin tahu.
“Soal pengkhianatan mantan sahabat Harru sewaktu SMAN 1 di Bojonegoro?”
“Oh,itu? Bagi saya bukan hal yang baru. Sewaktu saya dan dia, namanya Dianna, masih sama-sama di SMAN, dia memang punya watak sirik. Watak iri,”
“Contohnya?”
“Ya, waktu itu tahun 1969-anlah. Saya pelopor radio amatir, namanya Radio Armada
151 berlokasi di Jl. Ade Irma Suryani,Sumbang. Berada pada gelombang 86 MW. Zaman dulu belum ada FM. Eh, dia iri, lantas mendirikan radio.Tak tanggung-tanggung, gelombangnya di 85 FM. Untuk radio kecil, gelombang 85 MW dan 88 MW itu sangat berdekatan. Sinyalnya lebih kuat. Jadi, ingin mematikan radio amatir saya. Setelah saya protes, kemudian pindah ke gelombang SW,” saya mengingatkan Prabowo bahwa, Dianna sejak SMAN memang punya atak sirik.
“Oh, jadi soal dia menyabotase kegiatan reuni, juga dia juga?”
“Ya,iyalah. Semua alumni SMAN 1 Bojonegoro lulusan 1971 tahu, saya adalah pelopor reuni sejak 1971 hingga 1995, bahkan hingga 2000. Saya keluar uang banyak untuk melacak para alumni yang tersebar di Jabodetabek. Eh, enak saja. Dianna mengambil alih tanpa permisi. Bahkan memposisikan saya sebagai peserta. Itu kan penghinaan namanya. Wajar kalau saya tersinggung,” saya menjelaskan.
“Tapi, ada yang bilang Harry itu sombong. Kenapa?”
“Orang yang menilai saya sombong 100% adalah orang-orang yang belum mengenal saya secara pribadi. Cara berpikir mereka sempit seperti katak dalam tempurung. Semua pakar psikologi tentu tahu, untuk menilai seseorang itu butuh observasi dan itu butuh waktu yang relatif lama. Tidak cukup dengan membaca status atau catatan atau artikel saya. Saya kan penulis. Saya memahami berbagai gaya bahasa.”
“Tapi, kenapa ada kesan seperti itu?”
“Ya, saya mengusulkan ke Dianna, supaya diadakan acara rekreasi ke Bali. Tapi, usul saya ditolak. Seolah-olah saya ini tidak berhak usul.Seolah-olah saya tak mampu melakukan hal itu. Padahal, sewaktu saya pindah ke SMAN 6 Surabaya, saya sanggup mengadakan tour ke Bali. Bahkan, sewaktu kuliah di Fakultas Ekonomi Trisakti Jakarta, saya juga pernah mengadakan rekreasi ke Bali. Bahkan, sewaktu saya jadi aktivis Senat Mahasiswa di Akademi Bahasa Asing “Jakarta”, saya juga puluhan kali mengadakan rekreasi ke berbagai objek wisata di Jawa Barat. Jadi, sikap Dianna yang sombong itulah yang justru membuat saya sangat tersinggung,” cerita saya.
“Oh, begitu?Tapi kenapa harus menyebut Harry alumni enam perguruan tinggi? Apakah itu tidak memberikan kesan sombong?”
“Itulah. Orang Indonesia itu aneh. Kalau saya tidak menyebut gelar, saya dianggap lulusan SMA. kalau saya menyebutkan lulusan satu perguruan tinggi saja, teman-teman saya dari universitas lainnya ttersinggung karena nama universitasnya tidak saya sebut. Kalau saya sebut semua, katanya saya sombong. Bagi saya, apa yang saya katakan itu fakta. Apakah saya sombong atau tidak tergantung IQ masing-masing orang. Bagi orang yang IQ-nya rendah dan negative thinking, tentu saya dianggap sombong. Kenyataannya, teman-teman yang mengenal saya secara pribadi, tak mengatakan begitu. Mereka tahu siapa saya…,” saya sambil menyantap rendang otak yang sangat lezat sekali.
Siang itu Food Court Plasa Senayan cukup ramai pengunjung. Adalah kebiasaan saya makan siang bersama rekan-rekan bisnis di resto. Tidak hanya di Plasa Senayan, tetapi juga di resto lain. Antara lain Senayan City, Solaria, American Hamburger, Ayam Bulungan, Kentucky dan lain-lain.Tidak hanya dengan Prabowo, tetapi juga dengan rekan bisnis lainnya.
“Terus, bagaimana sikap Harry?” Prabowo masih ingin tahu. Maklumlah, Prabowo orangnya memang penuh dengan rasa simpati dan empati terhadap masalah-masalah yang saya hadapi.
“Ya, sejak SD saya orangnya tegas dan konsisten. Lebih baik saya punya musuh sejati daripada sahabat palsu. Saya memusuhinya seumur hidup saya. Dan saya ak akan menghadiri reuni-reuni yang diadakan Dianna bersama Bimbim. Bimbim itu juga berjiwa pengkhianat. Musuh dalam selimut jauh lebih berbahaya. Lebih baik saya punya musuh yang jelas-jelas musuh.”
“Oh, baguslah kalau Harry berpegang tegung pada komitmen. Itu sangat penting dalam bisnis. Sebab, orang yang berjiwa pengkhianat dalam persahabatan, dia juga bisa berjiwa pengkhianat dalam bisnis”
“Betul Di dalam bisnis sayua juga pernah dikhianati karyawan saya. Dia keluar, kemudian mendirikanusaha yang sama, yaitu mendirikan lembaga pendidikan komputer. Tidak jauh dari tempat saya. Ketika dia kalah bersaing, lantas menggunakan cara-cara dukun yang dilarang agama. Usaha sayapun sepi. Saya tak mau membalasnya. Semua saya serahkan kepada Tuhan. Toh, akhirnya, rumah tangganya kacau dan akhirnya cerai dengan suaminya. Hidupnya kacau balau”
“Mungkin dia terkena hukum karma”
“Ya,begitulah watak saya. Kalau saya dijahati orang, saya tak mau membalasnya. Tuhan itu Maha Adil. Dan banyak orang yang pernah berbuat jahat kepada saya, hidupnya tidak bahagia, tidak kaya bahkan sengsara. Bahkan Dianna, yang sewaktu SMAN mengkhianati saya, sampai usia 57 tahun tidak dikaruniai anak. Jadi nenek mandul. Mungkin karena stres tidak punya anak, maka pelampiasannya ya dia mengadakan reuni-reuni itu” saya terus menjelaskan. Semua berdasarkan fakta. Bukan merekayasa. Sya paling takut berbohong, sbab Tuhan Maha Tahu.
“Ya,ya,ya…Saya sekarang bisa memahami cara berpikir Harry. Tegas, konsisten dan berdasarkan fakta…,” komen Prabowo.
“Ya,begitulah. Banyak orang salah menilai saya. Salah faham tentang saya. Coba, kalau saya sombong, tidak mungkin dong saya terpilih sebagai sekretaris senat mahasiswa. Tidak mungkin saya terpilih sebagai ketua BPM/BEM.”
“Hahaha….Memang, masyarakat kita masih banyak yang logikanya bengkok. Dan, tidak faham psikologi”
“Benar. Apa yang Prabowo katakan benar 100 persen. Saya tahu itu. Apalagi, sejak 1973 saya mempunyai hobi sebagai Pengamat Perilaku. Wah, kasihan benar masyarakat kita ini. Bahkan, yang berpendidikan S1,S2 dan S3 juga banyak yang logikanya tidak lurus. Merka merasa benar, padahal salah. Kalau diluruskan, mereka ngeyel…”
“Ha ha ha…Saya percaya itu. Saya juga punya teman seperti itu. Kalau saya luruskan pendapatnya, justru dia tersinggung dan membodoh-bodohkan saya…Ha ha ha…”
“Ya, begitulah. Orang yang cara berpikirnya dogmatis-pasif, memang enggan menerima teori-teori baru atau pendapat-pendapat baru. Enggan menerima perbedaan pendapat”
Sayang, nasi sudah habis. Minuman sudah habis. Perut telah kenyang. Sesudah bincang-bincang sebentar tentang rencana bisnis berikutnya, maka saya dan Prabowopun kembali ke kantor masing-masing.
Mobil Honda Jazz putihpun saya kendarai menuju kantor saya di Kawasan Bintaro Jaya.
 Sumber : http://fsui.wordpress.com/2011/03/27/cerpen-ketika-sahabat-menjadi-pengkhianat/

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲